ISL vs LPI = PT. BAKRI vs PT. MEDCO = GOLKAR vs NASIONAL DEMOKRAT - Be A Wise Writer

Post Top Ad

ISL vs LPI = PT. BAKRI vs PT. MEDCO = GOLKAR vs NASIONAL DEMOKRAT

ISL vs LPI = PT. BAKRI vs PT. MEDCO = GOLKAR vs NASIONAL DEMOKRAT

Share This
Siapa yang tak cinta Timnas Sepakbola Indonesia ?. Anda, saya dan kita semua, saya kira mencintai Timnas. Antusiasme sebagian besar orang Indonesia dan luapan penonton di Senayan saat Timnas berlaga di Piala AFF Suzuki adalah salah satu bukti, bahwa sebagian besar dari kita mencintai Timnas. Sebagian di antara kita, mungkin malah bermimpi, Timnas bisa berlaga di Piala Dunia.


Tapi menyertai semua semangat dan mimpi itu, ada isu yang tertendang ke gawang publik : gonjang-ganjing pelaksanaan Liga Primer Indonesia. PSSI menganggap pergelaran liga itu ilegal, karena katanya tidak direstui FIFA, AFC dan tentu saja oleh PSSI.

Tendangan selanjutnya adalah teriakan-teriakan, agar Ketua Umum PSSI Nurdin Halid mundur dari jabatannya, dan kabar tentang Irfan Bachdim pemain Persema Malang yang konon akan berlaga di Liga Primer.

Lalu, benarkah semua tendangan ‘bola’ itu hanya akan berhenti pada persoalan Liga Primer, Liga Super, Nurdin dan PSSI, atau itukah arena lain dendam kesumat dari Keluarga Arifin dan Keluarga Bakrie ?.


Faktor Sudharmono dan Ginanjar

Arifin Panigoro dan Aburizal Bakrie alias Ical adalah dua pengusaha yang tumbuh besar sejak Soeharto membentuk Tim Keppres 10, 23 Januari 1980.

Tim itu diketuai oleh mendiang Sudharmono dan Ginanjar Kartasasmita duduk sebagai salah satu anggota tim.

Oleh Soeharto pembentukan tim itu dimaksudkan untuk menumbuhkan pengusaha pribumi dengan antara lain mengalokasikan sejumlah proyek non departemen bernilai di atas Rp 500 juta. Sekretariat Negara di bawah Sudharmono lantas ditunjuk sebagai penanggungjawab keberhasilan program tersebut.

Lewat tim itulah sejumlah pengusaha muda pribumi kemudian banyak mendapat prioritas. Ical, Arifin Jusuf Kalla, Iman Taufik, Fadel Muhammad, dan Agus Kartasasmita adalah beberapa pengusaha yang banyak ‘berhubungan’ dengan Tim Keppres 10.

Hubungan mereka dengan Sudharmono dan Ginanjar, sejak itu lantas menjadi seperti hubungan bapak-anak. Sudharmono mengenal mereka sebagai pengusaha-pengusaha pribumi yang profesional, sementara para pengusaha itu menganggap Sudharmono sebagai tokoh yang bersih, kendati loyal kepada Soeharto dan berada di lingkaran
kekuasaan.

Kini, dua dari pengusaha yang disusui oleh Orde Baru itu yakni Ical dan Arifin terlibat perseteruan panjang.

Arifin adalah salah satu raja minyak yang cukup terkenal terutama sejak reformasi dan Ical adalah salah satu orang terkaya di Indonesia. Arifin pemilik kerajaan bisnis Grup Medco dan Ical pemilik kerajaan bisnis Grup Bakrie.


November tahun lalu, Arifin gagal menjual salah satu anak bisnisnya ke Pertamina karena [terutama] Golkar yang dikendalikan Ical menjegal rencana penjualan itu melalui orang-orangnya di Senayan.

Tapi itu hanya titik kecil dari perseteruan keduanya. Sebagian orang tahu, Keluarga Arifin dan Keluarga Bakrie sudah saling meradang sejak kedua keluarga itu tidak bersepakat soal tanggungjawab dalam kasus luapan lumpur Lapindo di
Sidoarjo, Jawa Timur.

PT Medco E&P Brantas anak perusahaan dari PTMedcoEnergi, dulu memang pernah menjadi peserta [participating interest] eksplorasi dan pengeboran Lapindo.

Perusahaan itu mengantongi 32 persen saham di PT Energi Mega Persada Tbk. Nama yang disebut terakhir adalah salah satu sayap bisnis Grup Bakrie dan pemilik Lapindo Brantas Inc. perusahaan kontraktor kontrak kerjasama yang ditunjuk BP Migas melakukan pengeboran minyak dan gas bumi di tepi Sungai Brantas.

Tapi entah kenapa, Medco kemudian menarik diri setelah bencana lumpur itu menyebur di Sidoarjo, 29 Mei 2006.

Akibat sikap Medco [Arifin] yang seperti itu, Nirwan Bakrie [adik Ical] CEO Lapindo Brantas Inc. konon berang. Nirwan bahkan disebut-sebut sempat mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh kepada Hilmi Panigoro, adik Arifin.

Sejak itu hubungan dua keluarga pengusaha itu, dikabarkan terus memburuk. Apalagi hingga sekarang, Grup Bakrie yang harus menanggung sendiri semua risiko akibat luapan lumpur Lapindo itu.

Arifin yang sudah ‘keluar’ dari dunia politik [baca dari PDIP] kemudian seperti menyepi. Nyaris tidak ada suaranya, meski dia tentu saja masih ikut mengendalikan dari balik layar sejumlah manuver politik.

Adapun Ical, terus moncer dan sebagian orang, kini menyebutnya sebagai ‘the real president’.


Liga Primer dan Liga Super

Hubungan dua keluarga pengusaha itu semakin renggang, ketika Sri Mulyani Indrawati sering bertabrakan dengan Ical ketika keduanya masih menjadi menteri di kabinet pemerintahan SBY-JK.

Sri Mulyani, sejauh ini memang dikenal ‘lebih dekat’ ke Arifin ketimbang misalnya ke Ical. Beberapa keputusan Sri Mulyani sebagai menteri keuangan, antara lain untuk kasus saham PT Bumi Resources Tbk. awal November 2008, lalu dituding oleh kelompok Ical, sebagai bagian dari manuver Arifin. Sebuah tudingan yang niscaya dianggap lelucon oleh Arifin dan juga Sri Mulyani.

Kini, hubungan dua keluarga pengusaha superkaya itu tampak seperti tak bisa direkatkan, setelah Arifin dkk. membiayai penyelenggaraan Liga Primer. Hak siar kompetisi ini, dikabarkan dikantongi oleh stasiun televisi Indosiar [Grup
Salim], sementara hak siar Liga Super [tentu saja] dipegang stasiun ANTV [Grup Bakrie].

Tentu saja Liga Super bukan sekadar sebuah kompetisi sepakbola yang dimasudkan untuk ‘menantang’ Liga Super yang digelar oleh PSSI. Tak pula ditujukan untuk misalnya, memberikan kebebasan kepada pemain sepakbola memilih arena bertanding yang mereka sukai, seperti wartawan yang bebas memilih induk organisasi profesi.

Liga Primer seharusnya juga dibaca sebagai ‘mesiu politik’ yang lain dari Arifin yang diarahkan kepada Ical. Tidakkah Nirwan Bakrie adalah Wakil Ketua Umum PSSI?.

Keluarga Bakrie katanya, penggila olahraga. Ical dikenal sebagai jago tenis, dan Nirwan walaupun tidak bisa bermain sepakbola, dikenal sebagai penggila olahraga paling popular di dunia itu.

Keluarga Bakrie [tentu saja melalui kelompok bisnisnya] bahkan dilaporkan telah mengakuisisi 20 persen saham klub sepakbola Leicester Inggris.

Keluarga itu, disebut-sebut telah memberikan hadiah Rp 3 miliar kepada pemain Timnas. Konon pula, sejumlah pemain sepakbola PSSI telah disekolahkan ke Uruguay dengan dukungan dana sepenunya dari Keluarga Bakrie.

Bagaimana dengan Nurdin ?. Ketua Umum PSSI itu suatu hari pernah berkata “Keberhasilan Timnas [di ajang AFF] adalah berkat pengorbanan besar keluarga Bakrie, terutama Nirwan.”

Benar, Nurdin memang orang dekat Keluarga Bakrie. Selain sebagai Ketua Umum PSSI, dia dikenal pula sebagai politisi Partai Golkar dan Ketua Dewan Koperasi Indonesia alias Dekopin.

Tahun 2009, dia terpilih sebagai ketua Dekopin menyusul rekonsiliasi faksi-faksi di organisasi koperasi itu yang difasilitasi oleh Menteri Koperasi dan UKM Sjarifuddin Hasan [Partai Demokrat].

Dia pula pernah menjadi narapidana kasus korupsi. Nama Nurdin juga disebut-sebut oleh Hamka Yamdu [salah satu narapidana kasus suap pemilihan Miranda Goeltom sebagai deputi senior BI 2004] ikut menerima cek perjalanan sebanyak 10 lembar dengan nilai Rp 500 juta. Hamka mengungkapkan keterlibatan Nurdin, ketika dia memberikan kesaksisan dalam sidang di Pengadilan Tikipikor, Jakarta , 27 April lalu.


Tiga Serangkai Orang Bakrie

Nurdin, Nirwan dan Andi Darussalam Tabusalla adalah Tiga Serangkai yang tidak terpisahkan di PSSI. Nurdin ketua, Nirwan wakil, dan Andi Direktur Badan Liga Indonesia. Orang penting lainnya di PSSI adalah Berhard Limbong [Ketua Induk Koperasi Angkatan Darat atau Inkopad] dan Ibnu Munzir [Wakil Ketua Fraksi Golkar di DPR].

September tahun lalu, Andi pernah menantang Arifin Panigoro. Kata Andi, kalau Arifin membuktikan janji menyuntikkan dana Rp 540 miliar kepada 18 klub peserta Liga Super Indonesia, dia akan menyerahkan jabatannya sebagai direktur
penyelenggaran liga di Indonesia kepada Arifin.

“Tolong sampaikan kepada Pak Arifin, silakan kucurkan uang itu ke Escrow Account masing-masing klub, maka pengelolaan BLI akan kami serahkan kepada beliau. Tak perlu repot-repot membuat kompetisi tandingan,” begitulah kata Andi.

Sekarang, marilah tengok Liga Primer yang akan dimulai 8 Januari mendatang. Penyelanggara liga ini dikabarkan juga telah mendekati PT Djarum, produsen rokok yang dikendalikan oleh Keluarga Hartono [pemilik BCA]. Djarum sejauh ini dikenal sebagai penyokong utama Liga Super [PSSI] dan disebut-sebut telah menghabiskan sekitar US $ 5 juta per tahun untuk kompetesi Liga Super.

Sudah ada 19 klub yang akan berlaga di liga tersebut. Yaitu Aceh United, Bali De Vata, Bandung FC, Batavia Union, Bogor Raya, Cendrawasih Papua, Jakarta 1928, Kabau Padang, Ksatria XI Solo, PSM Makassar, Manado United, Medan Chiefs, Medan Bintang, Persebaya, Persema, Persibo [Bojonegoro], Real Mataram, Semarang United dan Tangerang Wolves.


Pemilik Klub [politik] Sepakbola

Persema, klub tempat Irfan Bachdim bermain, sebelumnya dimiliki oleh PT Bentoel Investama. Klub ini sempat diambilalih oleh Peter Sondakh dan kini dikendalikan oleh Walikota Malang, Peni Suparto [politisi PDI-P].

Lalu Persibo Bojonegoro diketuai oleh Suyoto, Bupati Bojonegoro, yang juga ketua Partai Amanat Nasional Jawa Timur. Semarang United dikendalikan oleh Kukrit Suryo Wicaksono, CEO Grup Suara Merdeka, kelompok media terbesar di Jawa Tengah. Lalu PSM Makassar dikuasai oleh Ilham Arief Sirajuddin, Ketua Partai Demokrat Sulawesi Selatan. Adapun Arifin, tahun lalu telah mengakuisisi PT Pengelola Persebaya Indonesia, pemilik klub sepakbola Persebaya Surabaya, Jawa Timur tahun lalu. Konon, PT Pengelola Persebaya berniat menyediakan Rp75 miliar untuk Persebaya.

Jadi ke mana sebetulnya olahraga sepakbola Indonesia akan dibawa oleh [untuk sementara] Keluarga Bakrie dan Keluarga Arifin ?.

Mengapa misalnya, mereka tidak memilih arena lain untuk saling menembakkan senjata kepentingan politik mereka ketimbang merusak semangat dan antusiasme sebagian besar dari orang Indonesia yang mencintai dan mendukung Timnas ?.

Benar, olahraga sepakbola di dunia adakalanya tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik.

Tapi yang dipertontonkan oleh Keluarga Arifin dan Keluarga Bakrie dalam olahraga sepakbola Indonesia belakangan ini, sungguh sudah tidak menarik karena yang terbaca kemudian adalah mereka hanya meneruskan perseteruan pribadi menjadi perseteruan publik.

Nafsu dan kepentingan politik mereka, apa boleh harus disebut menjijikkan.  Padahal kalau mereka mau, mereka bisa membesarkan olahraga sepakbola bersama-sama. Tanpa kepentingan apapun hingga mimpi sebagian besar dari kita
untuk menempatkan Timnas di Piala Dunia menjadi kenyataan.

Beberapa saat pasca berakhirnya AFF Cup 2010, saya senang mengamati pemberitaan sepakbola di beberapa media elektronik. Ada yang mencoba ber-evaluasi ria, sementara ada yang mencoba menggelorakan semangat nasionalisme – terlepas dari hasil yang dipetik.

Untuk menghindari kejenuhan pemberitaan, narasumber yang digunakan diperluas. Tidak saja datang dari komunitas sepakbola, namun komunitas di luarnya pun turut diundang. Maka tersebutlah beberapa individu yang biasa fasih berbicara politik, hukum, dan sebagainya meramaikan jagad dialog publik sepakbola. Saya hanya bisa
tersenyum simpul. Strategi diversifikasi berita – begitu pikiran dangkal saya.

Namun, pemberitaan mulai berkembang ‘panas’ ketika sebuah liga tandingan dari yang diorganisasi oleh PSSI diperkenalkan.

Sebuah liga yang – konon katanya mengarahkan klub di dalamnya menjadi profesional, menyapih dari pengaruh APBD – diinisiasi oleh sekelompok masyarakat yang didukung oleh Arifin Panigoro dan konsorsiumnya. LPI atau Liga Primer Indonesia namanya.


PSSI mulai kebakaran jenggot…!

Berbagai upaya pun mulai dilakukan untuk menghadangnya. Berbekal UU Sistem Keolahragaan Nasional di mana secara jelas mengamanahkan induk olahraga untuk berlaku 3 in 1 (regulator, koordinator dan supervisor), PSSI mulai bergerilya
dan bermanuver.

Ancaman degradasi bagi klub sepakbola yang bergabung dengan LPI, pencoretan dari daftar resmi agen pemain terhadap mereka yang berhubungan dengan klub LPI, melaporkan wasit yang memimpin pertandingan ke FIFA, hingga yang paling gres diberikan kepada pemain : ancaman tidak dapat memperkuat timnas.

Masalah jadi dilematis bagi PSSI. Salah satu pemain yang akan terkena ancaman ini justru adalah seorang anak muda yang tergabung dalam program ‘MercuSuar’ PSSI berjudul Naturalisasi, yaitu Kim Jeffrey Kurniawan, yang sudah berikrar
setia ke Persema Malang (salah satu klub yang membelot ke LPI). Yang lain, tentu saja Sang Selebritis Sepakbola Indonesia , Irfan Bachdim.


Konflik mulai meluas, aparat keamanan dilibatkan.

Stasiun televisi pun serasa mendapatkan bensin baru selepas berita epilog AFF Cup 2010 menjadi jenuh.
Salah satu stasiun televisi yang sangat gigih (baca: getol) mengangkat isu ini adalah MetroTV.

Beberapa hari belakang bahkan tema dialog yang diangkat memiliki benang merah, yaitu ‘Arogansi PSSI’. Berita pagi hingga berita petang tidak luput salah satu segmennya mengangkat kekisruhan PSSI vs LPI.


Adakah yang salah ?

Terlepas dari kekesalan pribadi dengan pengurus teras PSSI atas segala kelakuan yang nir-prestasi, namun saya tidak sanggup menahan diri untuk sedikit berpikir ‘nakal’ melihat sudut pandang yang coba diangkat oleh MetroTV dalam memotret fenomena ini.

Ada apa sehingga MetroTV begitu semangat menggosok berita ini ?.
Sebelum menarik kesimpulan, saya tergelitik untuk melakukan sedikit komparasi pemberitaan di stasiun lainnya. Yang sempat saya jadikan benchmark adalah TVOne, RCTI, dan SCTV.

Patut dicatat, saya hanya mampu mengamati pada saat segmen beritanya saja. Kendala waktu membuat saya tidak mampu meneropong segmen infotainment atau dialog-dialog yang diselenggarakan di waktu kerja. Saya juga hanya masyarakat awam yang pandir dalam melakukan analisa media. Jadi, jika analisa ini dianggap dangkal dan banyak bolongnya, mohon koreksinya sahaja.

Hasilnya ?. Harus saya akui ada kecenderungan pemberitaan yang berat sebelah dilakukan oleh MetroTV dalam menyikapi kasus ini.

Jika diperbolehkan, ijinkan saya menggunakan pemberitaan MetroTV ada dalam kubu ekstrem keras. Ekstrem karena sangat kentara keberpihakan stasiun televisi yang bersangkutan.

MetroTV selalu menggunakan pengamat yang sama – sementara pembicara panelnya biasa divariasikan. Istri saya bahkan sempat nyeletuk pagi ini dengan dua kata. “Dia lagi ?”. Lalu mengangkat tema yang sama, diulang-ulang, dan diberikan penekanan pada ‘Arogansi PSSI’.

Sementara stasiun lain cenderung netral. Meski mengkritik keras kebijakan PSSI dalam memperlakukan LPI, namun - sekali lagi dalam perspektif pribadi – masih dalam kadar yang wajar dan cenderung tidak bombastis.


Ada apa gerangan ?

Ah, saya tidak mampu menghindari pemikiran nakal bahwa upaya memanaskan kisruh ini sebenarnya adalah menjaga ‘bara api’ dalam sekam atas ‘rivalitas’ antara dua tokoh elit politik nasional, yaitu Aburizal Bakrie (Ical) dan Surya Paloh.

Ical sangat dekat dengan Ketum PSSI yang pada kondisi yang sama merupakan kader loyal Partai Golkar. Bahkan menurut pengakuan yang meluncur sendiri dari mulut sang Ketum, Ical adalah penyumbang terbesar PSSI sehingga PSSI mampu beroperasional sehari-hari.

Sementara Surya Paloh adalah mantan pesaing Ical sebagai Ketua Umum PG, yang kemudian tersingkir dari kepengurusan dan mendirikan OMS bernama Nasional Demokrat. Dan beliau adalah pemilik MetroTV.


Investasi jangka panjang 2014 ?. Sangat mungkin terjadi !.
Saya tidak akan menutup kemungkinan bahwa pemberitaan yang dilakukan adalah upaya menggiring opini masyarakat Indonesia –yang sempat terkonsentrasi pada sepakbola nasional – menjadi agenda isu politik praktis 2014.

Upaya dekapitalisasi dari calon pesaing harus sesegera mungkin dilakukan dari saat ini. Mumpung medan peperangan masih cukup jauh, dan tools (baca: media) masih bisa dimanfaatkan secara sempurna. Tentu media merupakan alat propaganda yang paling efektif di era modern saat ini. Mengapa saya tertarik menulis ini ?. Terus terang, saya jengah dengan upaya mengaitkan sepakbola, dan olahraga pada umumnya, dengan agenda-agenda politik praktis (suara dan kekuasaan semata). Sementara esensi penting, yaitu membangun dan memajukan olahraga menjadi terlewatkan.

2011, Indonesia memiliki beberapa agenda internasional. Di SEA Games sepakbola ditargetkan meraih emas yang terahkir digenggam tahun 1991.

Kita juga masih terus memupuk mimpi membawa pulang tropi kejuaraan Thomas dan Uber Cup. Bahkan Sudirman Cup sudah lama tidak mampir ke kampung halamannya semenjak pertama diselenggarakan tahun 1989.

Maka, berhentilah mencampur-adukkan agenda bangsa dengan agenda politik praktis.

Entah apa yang terjadi jika kisruh PSSI vs LPI –atau lebih tepatnya ISL vs LPI di media terus berlanjut. Bisa jadi klimaksnya adalah menjelang 2014, ketika medan perang itu semakin terbuka. Dan siapa kawan, siapa lawan sudah terindentifikasi dengan jelas.

Jika ini terjadi, saya hanya bisa berkata keinginan banyak masyarakat Indonesia melihat olahraga berprestasi di tingkat dunia hanyalah mimpi di siang bolong !.

Semoga tidak
POLITIK BERKELAHI, SALING CACI MAKI, BAGI KAMI FOOTBALL FOR UNITY.

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages